Hukum & Kriminal
Irak Mengonfirmasi Undang-Undang Kontroversial: Gadis Berusia 9 Tahun Kini Diperbolehkan Menikah
Pengesahan undang-undang kontroversial di Irak memperbolehkan pernikahan gadis berusia sembilan tahun, memicu protes dan kekhawatiran tentang masa depan hak perempuan dan anak.

Amandemen terbaru Irak terhadap Undang-Undang Status Pribadi, yang memungkinkan gadis-gadis berusia sembilan tahun untuk menikah dengan persetujuan orang tua dan pengadilan, menandai kemunduran signifikan dalam hak-hak perempuan dan anak. Kita melihat protes yang meletus di tempat-tempat seperti Tahrir Square, di mana aktivis menyatakan kekhawatiran serius tentang bahaya melegitimasi pernikahan anak. Undang-undang ini tidak hanya membahayakan pendidikan dan kesehatan tetapi juga membuka pintu untuk peningkatan eksploitasi anak. Selain itu, undang-undang ini menggoyahkan dekade kemajuan mengenai hak-hak perempuan dan pemberdayaan. Implikasi sosialnya memunculkan pertanyaan kritis tentang masa depan perlindungan hak-hak bagi perempuan dan anak perempuan, mengundang eksplorasi lebih dalam mengenai isu-isu mendesak ini.
Tinjauan Hukum
Ketika Parlemen Irak menyetujui amendemen kontroversial terhadap Undang-Undang Status Pribadi pada tanggal 21 Januari 2025, banyak dari kita yang berusaha memahami implikasi dari mengizinkan gadis-gadis yang berusia serendah 9 tahun untuk menikah.
Perubahan drastis ini menurunkan batas usia pernikahan sebelumnya yang 18 tahun dan memperbolehkan pernikahan dini dengan persetujuan orang tua dan pengadilan, mencerminkan interpretasi hukum Islam Jafari.
Meskipun beberapa orang berargumen bahwa ini sejalan dengan konteks budaya dan nilai-nilai agama kita, hal ini menimbulkan kekhawatiran kritis mengenai kerangka hukum yang mengatur hak-hak perempuan dan anak-anak.
Memberdayakan pengadilan Islam untuk mengawasi perkara pernikahan dan keluarga dapat lebih mengurangi perlindungan yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Status Pribadi 1959.
Kita harus mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari perubahan seperti ini terhadap kebebasan individu dan norma-norma sosial.
Reaksi Publik dan Aktivis
Sementara banyak warga Irak turun ke jalan untuk berprotes, reaksi publik dan aktivis terhadap perubahan terbaru pada Undang-Undang Status Pribadi mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap hak-hak perempuan dan anak.
Demonstrasi besar-besaran, terutama di Lapangan Tahrir Baghdad, menunjukkan ketidaksetujuan kita bersama terhadap perizinan pernikahan anak perempuan yang berusia serendah 9 tahun. Aktivis berpendapat bahwa undang-undang ini melegitimasi pernikahan anak dan mengancam pendidikan dan kesehatan bagi gadis-gadis muda.
Organisasi hak asasi manusia, termasuk UNICEF, menggema perasaan ini, memperingatkan potensi peningkatan pernikahan dini.
Kampanye media sosial memperkuat suara kita, menyatukan kita dalam tuntutan hak-hak anak. Bersama-sama, kami menolak undang-undang yang regresif dan menyerukan reformasi yang mengutamakan hak asasi manusia daripada interpretasi konservatif doktrin agama.
Implikasi untuk Hak-Hak Perempuan
Amandemen terbaru terhadap Undang-Undang Status Perorangan menimbulkan ancaman signifikan terhadap hak-hak perempuan di Irak, menggugat kemajuan yang telah dicapai selama beberapa dekade terakhir. Undang-undang ini memperbolehkan perempuan seumur sembilan tahun untuk menikah, secara efektif melegitimasi pernikahan anak dan membuka pintu bagi eksploitasi anak.
Kita harus mengakui bahwa perubahan ini mengikis perlindungan bagi perempuan dalam area krusial seperti perceraian, hak asuh, dan warisan, memperdalam ketimpangan gender dalam masyarakat kita. Lebih lanjut, hal ini mengkompromikan pendidikan dan pengembangan pribadi anak perempuan, yang vital bagi pemberdayaan mereka.
Para aktivis memperingatkan bahwa pemberdayaan pengadilan Islam melalui legislasi ini dapat semakin mengukuhkan norma-norma patriarki, membatasi otonomi perempuan dan akses keadilan. Bersama-sama, kita harus mendukung undang-undang yang melindungi bukan membahayakan hak dan masa depan kita.